Hal yang Diperbolehkan Ketika berpuasa
Bagi hamba yang masih memiliki
tabi’at baik pasti mengetahui bahwa Allah selalu menginginkan kemudahan dan
bukan menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya. Dalam perihal puasa, Allah Ta’ala
juga menginginkan demikian dan ingin menghilangkan kesulitan dari hamba-Nya.
Berikut ini adalah beberapa hal yang
dibolehkan oleh syari’at ini dan tidak membatalkan puasa:
1. Mendapati waktu fajar dalam
keadaan junub.
Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu
‘anhuma, mereka berkata,
Ų£َŁَّ
Ų±َŲ³ُŁŁَ Ų§ŁŁَّŁِ – ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
– ŁَŲ§Łَ ŁُŲÆْŲ±ِŁُŁُ
Ų§ŁْŁَŲ¬ْŲ±ُ ŁَŁُŁَ Ų¬ُŁُŲØٌ Ł
ِŁْ Ų£َŁْŁِŁِ ، Ų«ُŁ
َّ ŁَŲŗْŲŖَŲ³ِŁُ ŁَŁَŲµُŁŁ
ُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena
bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi
dan tetap berpuasa.”[1]
Istri tercinta Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
ŁَŲÆْ
ŁَŲ§Łَ Ų±َŲ³ُŁŁُ Ų§ŁŁَّŁِ -ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
- ŁُŲÆْŲ±ِŁُŁُ
Ų§ŁْŁَŲ¬ْŲ±ُ ŁِŁ Ų±َŁ
َŲ¶َŲ§Łَ ŁَŁُŁَ Ų¬ُŁُŲØٌ Ł
ِŁْ ŲŗَŁْŲ±ِ ŲُŁُŁ
ٍ ŁَŁَŲŗْŲŖَŲ³ِŁُ ŁَŁَŲµُŁŁ
ُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub
bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi
dan tetap berpuasa.”[2]
2. Bersiwak ketika berpuasa.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
ŁَŁْŁŲ§َ
Ų£َŁْ Ų£َŲ“ُŁَّ Ų¹َŁَŁ Ų£ُŁ
َّŲŖِŁ ŁŲ£َŁ
َŲ±ْŲŖُŁُŁ
ْ ŲØِŲ§ŁŲ³ِّŁَŲ§Łِ Ų¹ِŁْŲÆَ ŁُŁِّ ŁُŲ¶ُŁŲ”ٍ
“Seandainya tidak memberatkan
umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi (bersiwak) setiap
kali berwudhu.”[3]
Imam Al Bukhari membawakan hadits di
atas (tanpa sanad) dalam judul Bab “Siwak basah dan kering bagi orang yang
berpuasa”. Judul bab ini mengisyaratkan bahwa Imam Al Bukhari ingin menyanggah
sebagian ulama (seperti ulama Malikiyah dan Asy Sya’bi) yang memakruhkan untuk
bersiwak ketika berpuasa dengan siwak basah.[4]
Ibnu Taimiyah rahimahullah
menjelaskan, “Adapun siwak (ketika berpuasa) maka itu dibolehkan tanpa ada
perselisihan di antara para ulama. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat
tentang makruhnya hal itu jika dilakukan setelah waktu zawal (matahari
tergelincir ke barat). Ada dua pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dalam
masalah ini. Namun yang tepat, tidak ada dalil syari’i yang mengkhususkan bahwa
hal tersebut dimakruhkan. Padahal terdapat dalil-dalil umum yang membolehkan
untuk bersiwak.”[5]
Penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan,
“Hadits-hadits yang semakna dengan di atas yang membicarakan keutamaan bersiwak
adalah hadits mutlak yang menunjukkan bahwa siwak dibolehkan setiap saat.
Inilah pendapat yang lebih tepat.”[6]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Yang benar adalah siwak
dianjurkan bagi orang yang berpuasa mulai dari awal hingga akhir siang.”[7]
Dalil yang menunjukkan mengenai
keutamaan siwak adalah hadits ‘Aisyah. Dari ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
Ų§ŁŲ³ِّŁَŲ§Łَ
Ł
َŲ·ْŁَŲ±َŲ©ٌ ŁِŁْŁَŁ
ِ Ł
َŲ±ْŲ¶َŲ§Ų©ٌ ŁِŁŲ±َّŲØِّ
“Bersiwak itu akan membuat mulut
bersih dan diridhoi oleh Allah.”[8]
Adapun menggunakan pasta gigi ketika
puasa lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa karena pasta gigi memiliki pengaruh
sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang seseorang
tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih lapang. Jika
seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia
berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat merusak puasanya.[9]
3. Berkumur-kumur dan memasukkan air
ke dalam hidung asal tidak berlebihan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ŁَŲØَŲ§ŁِŲŗْ
ŁِŁ Ų§ŁŲ§ِŲ³ْŲŖِŁْŲ“َŲ§Łِ Ų„ِŁŲ§َّ Ų£َŁْ ŲŖَŁُŁŁَ ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ً
“Bersungguh-sungguhlah dalam
beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa.”[10]
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun
berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) dibolehkan bagi
orang yang berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga berkumur-kumur dan beristinsyaq
ketika berpuasa. … Akan tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika itu.”[11]
Juga tidak mengapa jika orang yang
berpuasa berkumur-kumur meski tidak karena wudhu dan mandi.[12]
Jika masih ada sesuatu yang basah
–yang tersisa sesudah berkumur-kumur- di dalam mulut lalu tertelan tanpa
sengaja, seperti itu tidak membatalkan puasa karena sulit dihindari. Ibnu Hajar
rahimahullah mengatakan, “Jika dikhawatirkan sehabis bersiwak terdapat
sesuatu yang basah di dalam mulut (seperti sesudah berkumur-kumur dan masih
tersisa sesuatu yang basah di dalam mulut), maka itu tidak membatalkan puasa
walaupun sesuatu yang basah tadi ikut tertelan.”[13]
4. Bercumbu dan mencium istri selama
aman dari keluarnya mani.
Orang yang berpuasa dibolehkan
bercumbu dengan istrinya selama tidak di kemaluan dan selama terhindar dari
terjerumus pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama tidak keluar
mani.[14]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perselisihan di antara
para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri tidak membatalkan puasa selama
tidak keluar mani”.[15]
Dalil-dalil berikut menunjukkan
bolehnya bercumbu dengan istri ketika berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
beliau berkata,
ŁَŲ§Łَ
Ų§ŁŁَّŲØِŁُّ – ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
– ŁُŁَŲØِّŁُ
ŁَŁُŲØَŲ§Ų“ِŲ±ُ ، ŁَŁُŁَ ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ٌ ، ŁَŁَŲ§Łَ Ų£َŁ
ْŁَŁَŁُŁ
ْ ŁŲ„ِŲ±ْŲØِŁِ .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam keadaan berpuasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan
syahwatnya.”[16]
Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari ‘Umar
Bin Al Khaththab, beliau berkata,
ŁَŲ“َŲ“ْŲŖُ
ŁَŁْŁ
Ų§ ŁَŁَŲØَّŁْŲŖُ ŁَŲ£َŁَŲ§ ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ٌ ŁَŲ£َŲŖَŁْŲŖُ Ų§ŁŁَّŲØِŁَّ -ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ
ŁŲ³ŁŁ
- ŁَŁُŁْŲŖُ ŲµَŁَŲ¹ْŲŖُ Ų§ŁْŁَŁْŁ
َ Ų£َŁ
ْŲ±Ų§ً Ų¹َŲøِŁŁ
Ų§ً ŁَŲØَّŁْŲŖُ ŁَŲ£َŁَŲ§ ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ٌ
ŁَŁَŲ§Łَ Ų±َŲ³ُŁŁُ Ų§ŁŁَّŁِ -ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
-
« Ų£َŲ±َŲ£َŁْŲŖَ ŁَŁْ ŲŖَŁ
َŲ¶ْŁ
َŲ¶ْŲŖَ ŲØِŁ
َŲ§Ų”ٍ ŁَŲ£َŁْŲŖَ
ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ٌ ». ŁُŁْŲŖُ ŁŲ§َ ŲØَŲ£ْŲ³َ ŲØِŲ°َŁِŁَ ŁَŁَŲ§Łَ Ų±َŲ³ُŁŁُ Ų§ŁŁَّŁِ -ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ
ŁŲ³ŁŁ
- « ŁَŁِŁŁ
َ »
“Pada suatu hari aku rindu dan
hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka
aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, “Hari
ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal
sedang berpuasa” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
“Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku
menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?“[17]
Masyruq pernah bertanya pada
‘Aisyah,
Ł
َŲ§
ŁَŲِŁُّ ŁِŁŲ±َّŲ¬ُŁِ Ł
ِŁْ Ų§ِŁ
ْŲ±َŲ£َŲŖŁ ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ًŲ§ ؟ ŁَŲ§ŁَŲŖْ ŁُŁُّ Ų“َŁْŲ” Ų„ِŁَّŲ§ Ų§ŁْŲ¬ِŁ
َŲ§Ų¹َ
“Apa yang dibolehkan bagi
seseorang terhadap istrinya ketika puasa? ‘Aisyah menjawab, ‘Segala sesuatu
selain jima’ (bersetubuh)’.”[18]
5. Bekam dan donor darah jika tidak
membuat lemas.
Dalil-dalil berikut menunjukkan
dibolehkannya bekam bagi orang yang berpuasa.
Ų¹َŁِ
Ų§ŲØْŁِ Ų¹َŲØَّŲ§Ų³ٍ – Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ
Ų§ – Ų£َŁَّ Ų§ŁŁَّŲØِŁَّ – ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ
ŁŲ³ŁŁ
– Ų§ŲْŲŖَŲ¬َŁ
َ ، ŁَŁْŁَ Ł
ُŲْŲ±ِŁ
ٌ ŁَŲ§ŲْŲŖَŲ¬َŁ
َ ŁَŁْŁَ ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ٌ .
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam
dalam keadaan berihrom dan berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938)
ŁُŲ³ْŲ£َŁُ
Ų£َŁَŲ³َ ŲØْŁَ Ł
َŲ§ŁِŁٍ – Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ – Ų£َŁُŁْŲŖُŁ
ْ ŲŖَŁْŲ±َŁُŁŁَ Ų§ŁْŲِŲ¬َŲ§Ł
َŲ©َ
ŁِŁŲµَّŲ§Ų¦ِŁ
ِ ŁَŲ§Łَ ŁŲ§َ . Ų„ِŁŲ§َّ Ł
ِŁْ Ų£َŲ¬ْŁِ Ų§ŁŲ¶َّŲ¹ْŁِ
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang
berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.”
(HR. Bukhari no. 1940)
Menurut jumhur (mayoritas ulama)
yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, berbekam tidaklah membatalkan
puasa. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas,
Anas bin Malik, Abu Sa’id Al Khudri dan sebagian ulama salaf.
Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm
mengatakan, “Jika seseorang meninggalkan bekam ketika puasa dalam rangka
kehati-hatian, maka itu lebih aku sukai. Namun jika ia tetap melakukan bekam,
aku tidak menganggap puasanya batal.”[19]
Di antara alasan bahwa bekam
tidaklah membatalkan puasa:
Alasan pertama: Boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya orang yang
melakukan bekam dan di bekam adalah hadits yang telah di mansukh
(dihapus) dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri
berikut:
Ų±َŲ®َّŲµَ
Ų§ŁŁَّŲØِŁُّ -ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
- ŁِŁ Ų§ŁْŁُŲØْŁَŲ©ِ
ŁِŁŲµَّŲ§Ų¦ِŁ
ِ ŁَŲ§ŁْŲِŲ¬َŲ§Ł
َŲ©ِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium
istrinya dan berbekam.”[20]
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits yang
menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang
dibekam adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sama sekali-. Akan
tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu Sa’id: “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk
berbekam“. Sanad hadits ini shohih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya.
Yang namanya rukhsoh (keringanan) pasti ada setelah adanya ‘azimah (pelarangan)
sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa
dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang yang dibekam)
adalah hadits yang telah dinaskh (dihapus).”[21]
Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm
di atas, Syaikh Al Albani mengatakan, “Hadits semacam ini dari berbagai jalur
adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sedikitpun-. Hadits-hadits ini
menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa karena bekam adalah
hadits yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil
pendapat ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di
atas.”[22]
Alasan kedua: Pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam
hadits adalah bukan pengharaman. Maka hadits: “Orang yang melakukan bekam
dan yang dibekam batal puasanya” adalah kalimat majas. Jadi maksud hadits
tersebut adalah bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa terjerumus dalam
perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang menguatkan hal ini adalah hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ų£َŁَّ
Ų±َŲ³ُŁŁَ Ų§ŁŁَّŁِ -ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
- ŁَŁَŁ Ų¹َŁِ
Ų§ŁْŲِŲ¬َŲ§Ł
َŲ©ِ ŁَŲ§ŁْŁ
ُŁَŲ§ŲµَŁَŲ©ِ ŁَŁَŁ
ْ ŁُŲَŲ±ِّŁ
ْŁُŁ
َŲ§ Ų„ِŲØْŁَŲ§Ų”ً Ų¹َŁَŁ Ų£َŲµْŲَŲ§ŲØِŁِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang berbekam dan puasa wishol -namun tidak sampai mengharamkan-,
ini masih berlaku bagi sahabatnya.”[23]
Jika kita melihat dalam hadits Anas
yang telah disebutkan, terlihat jelas bahwa bekam itu terlarang ketika akan
membuat lemah. Anas ditanya,
Ų£َŁُŁْŲŖُŁ
ْ
ŲŖَŁْŲ±َŁُŁŁَ Ų§ŁْŲِŲ¬َŲ§Ł
َŲ©َ ŁِŁŲµَّŲ§Ų¦ِŁ
ِ ŁَŲ§Łَ ŁŲ§َ . Ų„ِŁŲ§َّ Ł
ِŁْ
Ų£َŲ¬ْŁِ Ų§ŁŲ¶َّŲ¹ْŁِ
“Apakah kalian tidak menyukai
berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas menjawab, “Tidak, kecuali jika
bisa menyebabkan lemah.”
Dengan dua alasan di atas, maka
pendapat mayoritas ulama kami nilai lebih kuat yaitu bekam tidaklah membatalkan
puasa. Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi lemas. Termasuk
dalam pembahasan bekam ini adalah hukum donor darah karena keduanya sama-sama
mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun disamakan.[24]
6. Mencicipi makanan selama tidak
masuk dalam kerongkongan
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, ia mengatakan,
ŁŲ§َ
ŲØَŲ£ْŲ³َ Ų£َŁْ ŁَŲ°ُŁْŁَ Ų§ŁŲ®َŁَّ Ų£َŁْ Ų§ŁŲ“َّŁْŲ”َ Ł
َŲ§ ŁَŁ
ْ ŁَŲÆْŲ®ُŁْ ŲَŁْŁَŁُ ŁَŁُŁَ
ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ٌ
“Tidak mengapa seseorang yang
sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke
kerongkongan.”[25]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Mencicipi makanan dimakruhkan jika tidak ada hajat, namun tidak
membatalkan puasa. Sedangkan jika ada hajat, maka dibolehkan sebagaimana
berkumur-kumur ketika berpuasa.”[26]
Yang termasuk dalam mencicipi adalah
adalah mengunyah makanan untuk suatu kebutuhan seperti membantu mengunyah
makanan untuk si kecil.
‘Abdur Rozaq dalam mushonnaf-nya
membawakan Bab ‘Seorang wanita mengunyah makanan untuk anaknya sedangkan dia
dalam keadaan berpuasa dan dia mencicipi sesuatu darinya‘. ‘Abdur Rozaq
membawakan beberapa riwayat di antaranya dari Yunus, dari Al Hasan Al Bashri,
ia berkata,
Ų±َŲ£َŁْŲŖُŁُ
ŁَŁ
ْŲ¶َŲŗُ ŁِŁŲµَّŲØِŁ Ų·َŲ¹َŲ§Ł
ًŲ§ ŁَŁُŁَ ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ٌ ŁَŁ
ْŲ¶َŲŗُŁُ Ų«ُŁ
َّ ŁُŲ®ْŲ±ِŲ¬ُŁُ Ł
ِŁْ
ŁِŁْŁِ ŁَŲ¶َŲ¹َŁُ ŁِŁ ŁَŁ
ِ Ų§ŁŲµَّŲØِŁ
“Aku melihat Yunus mengunyah
makanan untuk anak kecil -sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa-. Beliau
mengunyah kemudian beliau mengeluarkan hasil kunyahannya tersebut dari
mulutnya, lalu diberikan pada mulut anak kecil tersebut.”[27]
7. Bercelak dan tetes mata
Bercelak dan tetes mata tidaklah
membatalkan puasa[28].
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah hal-hal ini
tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian dari agama yang perlu
sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini
adalah perkara yang Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa,
tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada
kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya pada kita sebagaimana
syariat lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil
hal ini dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shohih, dho’if,
musnad (bersambung sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in
terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang menyatakan
bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dho’if (lemah).
Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun selain beliau
tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam
musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya.”[29]
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
ŁَŲ§
ŲØَŲ£ْŲ³ ŲØِŲ§ŁْŁُŲْŁِ ŁِŁŲµَّŲ§Ų¦ِŁ
ِ
“Tidak mengapa bercelak untuk
orang yang berpuasa.”[30]
8. Mandi dan menyiramkan air di
kepala untuk membuat segar
Bukhari membawakan Bab dalam kitab
shohihnya ‘Mandi untuk orang yang berpuasa.’ Ibnu Hajar berkata,
“Maksudnya adalah dibolehkannya mandi untuk orang yang berpuasa.
Az Zain ibnul Munayyir berkata bahwa
mandi di sini bersifat mutlak mencakup mandi yang dianjurkan, diwajibkan dan
mandi yang sifatnya mubah. Seakan-akan beliau mengisyaratkan tentang lemahnya
pendapat yang diriwayatkan dari ‘Ali mengenai larangan orang yang berpuasa
untuk memasuki kamar mandi. Riwayat ini dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq, namun
dengan sanad dho’if. Hanafiyah bersandar dengan hadits ini sehingga mereka
melarang (memakruhkan) mandi untuk orang yang berpuasa.”[31]
Hal ini juga dikuatkan oleh sebuah
riwayat dari Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, beliau berkata,
ŁَŁَŲÆْ
Ų±َŲ£َŁْŲŖُ Ų±َŲ³ُŁŁَ Ų§ŁŁَّŁِ -ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
- ŲØِŲ§ŁْŲ¹َŲ±ْŲ¬ِ
ŁَŲµُŲØُّ Ų¹َŁَŁ Ų±َŲ£ْŲ³ِŁِ Ų§ŁْŁ
َŲ§Ų”َ ŁَŁُŁَ ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ٌ Ł
ِŁَ Ų§ŁْŲ¹َŲ·َŲ“ِ Ų£َŁْ Ł
ِŁَ
Ų§ŁْŲَŲ±ِّ.
“Sungguh, aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam di Al ‘Aroj mengguyur kepalanya -karena keadaan
yang sangat haus atau sangat terik- dengan air sedangkan beliau dalam keadaan
berpuasa. ”[32]
Penulis Aunul Ma’bud mengatakan,
“Hadits ini merupakan dalil bolehnya orang yang berpuasa untuk menyegarkan
badan dari cuaca yang cukup terik dengan mengguyur air pada sebagian atau
seluruh badannya. Inilah pendapat mayoritas ulama dan mereka tidak membedakan
antara mandi wajib, sunnah atau mubah.”[33]
9. Menelan dahak.
Menurut madzhab Hanafiyah dan
Malikiyah, menelan dahak[34]
tidak membatalkan puasa karena ia dianggap sama seperti air ludah dan bukan
sesuatu yang asalnya dari luar.[35]
10. Menelan sesuatu yang sulit
dihindari.
Seperti masih ada sisa makanan yang
ikut pada air ludah dan itu jumlahnya sedikit serta sulit dihindari dan juga
seperti darah pada gigi yang ikut bersama air ludah dan jumlahnya sedikit, maka
seperti ini tidak mengapa jika tertelan. Namun jika darah atau makanan lebih
banyak dari air ludah yang tertelan, lalu tertelah, puasanya jadi batal.[36]
11. Makan, minum, jima’ (berhubungan
badan) dalam keadaan lupa.
12. Muntah yang tidak sengaja.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan
Catatan Kaki:
[1]
HR. Bukhari no. 1926.
[2]
HR. Muslim no. 1109
[3]
Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya secara mu’allaq
(tanpa sanad). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Khuzaimah 1/73 dengan sanad lebih
lengkap. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih
[4]
Fathul Bari, 4/158
[5]
Majmu’ Al Fatawa, 25/266
[6]
Tuhfatul Ahwadzi, 3/345
[7]
Majmu’ Fatwa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 17/259
[8]
HR. An Nasai no. 5 dan Ahmad 6/47. Syaikh Al Albani rahimahullah
mengatakan bahwa hadits ini shahih
[9]
Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 17/261-262
[10]
HR. Abu Daud no. 142, Tirmidzi no. 788, An Nasa’i no. 87, Ibnu Majah no. 407,
dari Laqith bin Shobroh. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan
shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih
[11]
Majmu’ Al Fatawa, 25/266
[12]
Shahih Fiqh Sunnah, 2/112
[13]
Fathul Bari, 4/159
[14]
Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13123 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/110-111
[15]
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/215
[16]
HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106
[17]
HR. Ahmad 1/21. Syaikh Syu’aib Al Arnauth rahimahullah mengatakan bahwa
sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim.
[18]
Riwayat ini disebutkan dalam Fathul Bari (4/149), dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq
dengan sanad yang shahih.
[19]
Al Umm, 2/106
[20]
HR. Ad Daruquthni 2/183 dan Ibnu Khuzaimah 7/247. Ad Daruqutni mengatakan bahwa
semua periwayat dalam hadits ini tsiqoh/terpercaya kecuali Mu’tamar yang
meriwayatkan secara mauquf -yaitu hanya sampai pada sahabat-. Syaikh Al Albani
dalam Irwa’ (4/74) mengatakan bahwa semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya,
akan tetapi dipersilihkan apakah riwayatnya marfu’ -sampai pada Nabi- atau
mawquf -sampai sahabat-
[21]
Dinukil dari Al Irwa’, 4/74
[22]
Al Irwa’, 4/75
[23]
HR. Abu Daud no 2374. Hadits ini tidaklah cacat, walaupun nama sahabat tidak
disebutkan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih
[24]
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/113-114
[25]
HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 2/304. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ no.
937 mengatakan bahwa riwayat ini hasan
[26]
Majmu’ Al Fatawa, 25/266-267
[27]
HR. ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya (4/207)
[28]
Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 56 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/115
[29]
Majmu’ Al Fatawa, 25/234
[30]
Dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq dengan sanad yang shahih. Lihat Fathul Bari,
4/154
[31]
Fathul Bari, 4/153
[32]
HR. Abu Daud no. 2365
[33]
‘Aunul Ma’bud, 6/352
[34]
Dahak adalah sesuatu yang keluar dari hidung atau lendir yang naik dari dada
[35]
Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9962 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/117
[36]
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/118
0 Feed back:
Post a Comment