Setidaknya Kamu Lebih Berharga Dari Apapun
Kita berkata dalam kata, aku dan kamu sama saja hanya menghitung rindu di atas doa. Setelah sekian lama kita berkata dalam kata yang ada rasa. Kita mencoba mengerti: ada rindu di atas doa. Tapi sekarang aku merasa. Sebenarnya apa yang terjadi? Merasa getar tapi tak pernah bernada di antara desah daun basah. Karena membaca isyaratmu sulit bagiku. Aku tak paham tingkahmu yang begitu baik padaku. Apa semua itu hanya kebetulan? Tapi mengapa kamu selalu memberiku sebuah kata yang menghidupkan rasa semangat. Selalu saja kamu berikan, ketika sang bulan melipat senyuman dan meletakkannya di warna biru yang tertutup awan.
Hatiku berjalan menuju pengetahuan. Dengan membaca dan mengeja makna senyumanmu padaku. Aku terkesima. Namun tak semudah itu aku mengartikannya sebagai cinta. Mungkin aku bodoh. Selalu buta dengan makna cinta begitu luas. Atau barang kali aku belum pernah jatuh cinta. Bila itu benar cinta. Apa harus mengatakan secara langsung dan secepat itu? Cinta memang satu-satunya kebebasan di dunia. Namun cinta tak sekedar datang dari keakraban yang lama atau pendekatan yang tekun. Cinta adalah kesesuaian jiwa dan jika itu tak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad. –Kahlil Gibran.
Lalu hatiku berkata, “Di mana aku dapat menemukan doa di atasa nama cinta?” Aku merasa bahwa doa adalah pantulan isyarat dirimu sendiri. Dan setidaknya kamu masih mengharap kicauan merdu yang ku lantunkan dari lagu hati menuju singgasana fajar. Itu adalah suatu perlawanan terhadap cinta –Azhar Nurun Ala. Dengan kesabaran serta kekuatan, tumbuh meski samar bahkan tak jelas di antara kabut. Aku pula selalu terperangkap oleh bayanganmu dan tersesat dalam ruang bawah tanah. Gelap, pengap tanpa ada suatu kebenaran yang mutlak. Atau inikah yang dinamakan Cinta? Ada lagi yang dirasakan, namun mata berkabutku dan jiwa menangisku mencegah penglihatan dan pendengaranku untuk dikatakan. Barang kali aku terlalu pemalu. Untuk berteriak di puncak gunung.
Melepas semua beban berat yang telah lama tersimpan di antara kebebasan yang terikat. Aku jauh, jauh sekali, dan kabut menutupi semua bukit di hadapan mataku. Aku kecil, kecil sekali dan awan membawa senandung lirihku di lembah-lembah samudera kesunyian. Sebentar. Aku mau mengatakan padamu. Tinggalkan aku sendiri, biarkan jiwaku tertidur. Karena pikiranku termabukkan oleh cinta. Diamkan aku di ujung nyala lilin. Yang sebentar lagi padam. Karena hatiku telah memiliki cukup sinar untuk menerangi sebuah desa kecil di pinggiran kota. Aku berharap kamu bersedia untuk pergi dan meninggalkanku. Pergilah! Jangan mendebatku atas nama cinta di pelupuk mata atau rindu di ujung suara merdu sebuah doa. Karena jiwaku telah terbutakan oleh sebuah sinar yang datang dari arah barat. Gelap, segelap warna tinta yang menutupi pikiranku dengan kebodohan.
Pergil! Dan terbangkanlah senyumanmu di udara: ia akan menenangkan sebuah arti kehidupan. Tiupkanlah keharumanmu di udara: ia akan menjaga makna keagungan cinta. Pulanglah! Jangan jatuhkan air matamu, karena benang emas yang dijatuhkan dari surga oleh para istifaf. Keringkan air matamu! Dan angkat kepalamu bagai burung-burung mengangkat sayap mereka untuk terbang tinggi dan menyapa awan.
Semacam itu aku menyayangimu. Maka tersenyumlah. Aku tak tega bila kamu masih menjatuhkan mutiara yang menodai senyumanmu. Indah seindah impianmu, yang tak bisa aku nodai dengan emas dan permata. Setidaknya kamu sangat berharga dari apapun. Sebab itu larilah! Sekencang mungkin sebelum kamu terkena jeratan benang cinta. Begitu pula aku. Akan terus belajar tentang peraturan cinta. Sebelum bumi mulai lapar dan menelan tubuh kami yang tercemar oleh pendosa cinta.
Cerpen Karangan:
Muh Shodiq Masrur (Kendal) -Mahasiswa di UII Yogyakarta
0 Feed back:
Post a Comment