Hukum Bekerja di Bank Konvensional
Sistem ekonomi dalam Islam ditegakkan pada asas memerangi riba dan
menganggapnya sebagai dosa besar yang dapat menghapuskan berkah dari
individu dan masyarakat, bahkan dapat mendatangkan bencana di dunia dan
di akhirat.
Hal ini telah disinyalir di dalam Al Qur’an dan As
Sunnah serta telah disepakati oleh umat. Cukuplah kiranya jika Anda
membaca firman Allah Ta’ala berikut ini:
“Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al Baqarah: 276)
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu …” (QS. Al Baqarah: 278-279)
Mengenai hal ini Rasulullah SAW bersabda “Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti mereka telah menyediakan diri mereka untuk disiksa oleh Allah.” (HR Hakim) [1]
Dalam
peraturan dan tuntunannya Islam menyuruh umatnya agar memerangi
kemaksiatan. Apabila tidak sanggup, minimal ia harus menahan diri agar
perkataan maupun perbuatannya tidak terlibat dalam kemaksiatan itu.
Karena itu Islam mengharamkan semua bentuk kerja sama atas dosa dan
permusuhan, dan menganggap setiap orang yang membantu kemaksiatan
bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya, baik pertolongan itu dalam
bentuk moril ataupun materiil, perbuatan ataupun perkataan. Dalam sebuah
hadits hasan, Rasulullah SAW bersabda mengenai kejahatan pembunuhan:
“Kalau
penduduk langit dan penduduk bumi bersekutu dalam membunuh seorang
mukmin, niscaya Allah akan membenamkan mereka dalam neraka.” (HR Tirmidzi)
Sedangkan tentang khamar beliau SAW bersabda:
“Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya, pemerahnya, yang meminta diperahkan, pembawanya, dan yang dibawakannya.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)
Demikian juga terhadap praktek suap-menyuap:
“Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantaranya.” (HR Ibnu Hibban dan Hakim)
Kemudian mengenai riba, Jabir bin Abdillah RA meriwayatkan:
“Rasulullah
melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua
orang yang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka itu sama.” (HR Muslim)
Ibnu Mas’ud meriwayatkan:
“Rasulullah SAW melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi) [2]
Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:
“Orang yang makan riba, orang yang memberi makan dengan riba, dan dua orang saksinya – jika mereka mengetahui hal itu – maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad SAW hingga hari kiamat.” (HR Nasa’i)
Hadits-hadits
shahih yang sharih itulah yang menyiksa hati orang-orang Islam yang
bekerja di bank-bank atau syirkah (persekutuan) yang aktivitasnya tidak
lepas dari tulis-menulis dan bunga riba. Namun perlu diperhatikan bahwa
masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank atau
penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah menyusup ke dalam
sistem ekonomi kita dan semua kegiatan yang berhubungan dengan
keuangan, sehingga merupakan bencana umum sebagaimana yang diperingatkan
Rasulullah saw.:
“Sungguh akan datang pada manusia suatu
masa yang pada waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan akan makan
riba; barangsiapa yang tidak memakannya maka ia akan terkena debunya.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)
Kondisi
seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan melarang
seseorang bekerja di bank atau perusahaan yang mempraktekkan riba.
Tetapi kerusakan sistem ekonomi yang disebabkan ulah golongan kapitalis
ini hanya dapat diubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam.
Perubahan itu tentu saja harus diusahakan secara bertahap dan
perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan guncangan perekonomian yang
dapat menimbulkan bencana pada negara dan bangsa. Islam sendiri tidak
melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam
memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh
Islam ketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam hal ini
yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu
telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar.
Setiap muslim yang
mempunyai kepedulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya,
lisannya, dan segenap kemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana)
yang tepat untuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri,
sehingga sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh perbandingan, di
dunia ini terdapat beberapa negara yang tidak memberlakukan sistem riba,
yaitu mereka yang berpaham sosialis.
Di sisi lain, apabila kita
melarang semua muslim bekerja di bank, maka dunia perbankan dan
sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang non muslim seperti Yahudi dan
sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.
Terlepas
dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua pekerjaan yang
berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada di antaranya yang
halal dan baik, seperti kegiatan perpialangan, penitipan, dan
sebagainya; bahkan sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh
karena itu, tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan tersebut –
meskipun hatinya tidak rela – dengan harapan tata perekonomian akan
mengalami perubahan menuju kondisi yang diridhai agama dan hatinya.
Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia rnelaksanakan tugasnya dengan
baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya
beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya:
“Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari)
Sebelum
saya tutup fatwa ini janganlah kita melupakan kebutuhan hidup yang oleh
para fuqaha diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Kondisi
inilah yang mengharuskan saudara penanya untuk menerima pekerjaan
tersebut sebagai sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana
firman Allah SWT:
“… Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 173)
—
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer
—
Catatan kaki:
1. Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih isnadnya.
2. Tirmidzi menshahihkannya. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dan Hakim, dan mereka menshahihkannya.
0 Feed back:
Post a Comment