-->

Thursday, 19 November 2015

Cerpen Celoteh Santri "Ada yang hilang"


Ada yang hilang…

    Udara setelah shubuh memang begitu dingin di pesantren Al Hidayah. Seluruh santri dengan khidmat dan khusyu’ melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tetesan embun selalu menyemarakkan peristiwa pasca-shubuh. Allah SWT senantiasa mencurahkan berkahnya kepada hamba-hamba-Nya yang tidak lalai dalam mengingat-Nya. Seakan-akan pagi itu menjadi saksi akan turunnya keberkahan Allah kepada santri-santri pesantren Al Hidayah.  
  Seperti biasa selesai membaca Al-Qur’an seluruh santri kembali ke kamar dan mempersiapkan diri mereka untuk masuk kelas. Namun pagi itu, Ust. Fajri memanggil Asep ke kamarnya. 
 Di kamar Ust. Fajri, Asep duduk dan di hadapannya duduk Ust. Fajri.
“ Kenapa akhir-akhir ini kamu nakal, Sep? Tanya Ust. Fajri, ingat kamu bukan anak baru lagi. Kamu sudah kelas dua di sini. Jelas Ust. Fajri”.
“Nggak ada apa-apa, Ustadz. Jawab Asep menunduk”
“Dulu kamu tidak seperti ini, kenapa sekarang bandel? Pasti kamu punya masalah. 
  Ustadz Fajri dikenal sebagai orang yang tegas, berwibawa dan ta’at peraturan. Di samping itu beliau juga ramah dan sering membantu santri yang sedang kesusahan. Suatu hari ia pernah meminjamkan uang kepada seoarang santri yang belum melunasi SPP untuk syarat mengikuti ujian akhir kelulusan. Kini Asep sedang punya masalah, ia pun tidak tinggal diam. Baginya santri yang belajar di pesantren Al Hidayah adalah amanat. Bila amanat itu rusak maka hilanglah kepercayaan masyarakat. Selain itu beliau juga mengamalkan hadist Rasulullah SAW yang berbunyi: Laa imaana liman laa amaanata. Tidaklah beriman orang yang tidak beramanat. Amanat bagi Ust. Fajri adalah seluruh santri. Asep meneruskan jawabannya:
“ Saya bosan di sini,.”
“ Kalau bosan sih bisa dibuang. Kamu harus rajin beribadah, Sep!”
“ Iya, tadz, saya mengerti.”
“ Ya sudah! Kalau perlu izin, pulang saja dua atau tiga hari, tawar Ust. Fajri.”
“ Iya, tadz. Saya minta izin pulang tiga hari saja.. Saya mau ketemu orang tua.”
“ Kalau begitu, Ustadz tuliskan surat izin buat kamu sekarang sekalian tashdiq untuk tidak masuk kelasnya juga.” 
  Pukul 08.00 tepat Asep meninggalkan pesantren. Dia berniat ketika sampai di rumah akan memperbarui niatnya dalam belajar. Ia juga ingin meminta nasihat ayahnya dan ibunya. 
  Ketika ia sampai di persimpangan jalan ia melihat sebuah bendera kuning terpasang di tiang listrik di belokan menuju rumahnya. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji”uun, ucap Asep dalam hati. Siapa yang meninggal? Tanyanya dalam hati.  
  Asep meneruskan langkahnya. Dalam hatinya ia merindukan sosok ibunya yang selalu memberikannya kehangatan. Ia selalu bergantung pada ibunya saat mendapatkan suatu masalah. Ibunya pun selalu menolongnya dengan penuh perhatin kepada anak satu-satunya, si Asep. Asep terlalu manja maka ayahnya pun mengirimnya ke pesantren agar ia bisa mandiri walau itu berat baginya dan ibunya. Sudah enam bulan Asep belum bertemu lagi dengan ibunya setelah Ramadhan lalu. Ia hanya sempat berbincang dengan ibunya satu bulan yang lalu melalui telepon. Di telepon, ibunya berpesan agar ia tidak pernah lupa pada janjinya dahulu ketika masuk pesantren untuk belajar dan menjadi anak yang shaleh dan pintar.  
  Sebentar lagi Asep akan bertemu dengan sosok yang sangat dirindukannya itu. Ia membayangkan ia akan dibukakan pintu oleh ibu dengan penuh kehangatan. Ia terus mempercepat langkahnya. 
  Beberapa meter dari rumahnya, ia melihat orang-orang berkumpul di sana. Wajah mereka menampakkan gurat-gurat kesedihan. Di anatara mereka terdapat sanak familinya juga. Ia tertegun melihat bendera kuning di pagar rumahnya. Ia hanya hidup bersama ayah dan ibu, lalu siapa yang meninggal? Lirihnya. Jantungnya berdegup kencang. Dari jauh Paman Manshur menyadari kedatangannya dan bergegas menghampirinya.
“ Asep sudah pulang. Tadi Paman Rahmat baru mau jemput kamu ke pesantren. Ucap paman Manshur berusaha tersenyum. Ayah ada di dalam sedang menemani tamu yang datang…Dalam benak Asep tersirat, kalau ayah ada berarti…
“ Ibuuuuuuuuuuuuuuu… di mana? Air matanya meleleh. Sep, kamu mesti sabar. Allah bersama orang-orang yang sabar. Sekarang ibu beristirahat. Penyakit jantung ibu kambuh. Dan ternyata Allah sayang sama ibu…
“ Ibuuu… Asep berlari dengan air mata berlinang manjauh dari paman Manshur yang juga mengalirkan air matanya.  
  Siang itu juga jenazah ibu Asep dimakamkan. Asep teringat janjinya dulu ketika ia baru masuk pesantren bahwa ia tidak akan manja dan cengeng lagi dan ia juga haurus belajar dengan giat.  
  Seusai pemakaman, ayah Asep berdiri di sisinya mengingatkan:
“ Sep! jangan nangis lagi, ya! Kasihan ibu kalau melihat kamu nangis. Nanti ibu juga sedih… Kamu udah makan belum? Tanya ayahBelum, yah! Jawab Asep berusaha memahami dan tegar mengahadapi cobaan ini.“
  OK! Sekarang kita makan dulu. Nanti malam kita yasinan di rumah.”  Mereka pun kembali ke rumah dengan mengendarai mobil Rush mereka. Di dalam hati Asep berusaha untuk tabah dan mulai menepati janji yang belum sempat ia tepati pada ibunya. Ia terus Manahan kesedihan yang dalam itu. 
  Setelah tiga hari di rumah. Asep kembali ke pesantren. berita tentang dirinya telah tersebar dan pihak pesantren pun mengucapkan rasa bela sungkawa sedalam-dalamnya.

Ditulis oleh: Syahir Hadi

0 Feed back:

Post a Comment

Start Work With Me

Contact Us
WAES ALQORNY
+6285-60001-3003
Brebes, Indonesia

Powered by Blogger.

About

Facebook

Featured Posts

Featured Posts

Featured Posts

Instagram Photo Gallery

Blog Archive

Follow Us

Sponsor

Recent Posts

Site Links

Saya Waes alqorny, kelahiran Brebes 09 Mei 1991, setelah menempuh program S1 di salah satu perguruan tinggi Swasta di Yogyakarta saya berkarir sebagai staf IT diperusahaan telekomunikasi di Jakarta. disela-sela kesibukan saya terkadang menyisihkan waktu untuk menulis di blog pribadi dan menyelesaikan proyek desain grafis.

Latest Post

Popular Posts