Saudara-saudara kaum muslimin yang berbahagia.
Empat belas abad
yang lampau, di zaman keemasan Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw. Islam
menjadi kebanggaan ummat. Pengaruh Islam dengan cepat menyebar hamper keseluruh
dunia, padahal jumlah umat Islam baru sedikit dari pada yang lainnya, dan dalam
tempo yang relatif singkat. Ini semua tiada lain berkat kekuatan akidah
Islamiyah yang tertanam di dalam jiwa dan ketaatan menjalankan agama sesuai
dengan tuntunan Allah swt. dan Rasul-Nya. Berdasarkan satu hukum yang bersumber
dari Al-Quran.
Pada waktu itu
Nabi Muhammad saw. memberi peringatan kepada sahabatnya, bahwa kelak diakhir
zaman ada Islam tinggal namanya dan Al-Quran tinggal tulisannya. Sebagaimana
disabdakan oleh beliau di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Iman baihaqi yang
bersumber dari Ali, yang artinya “Akan datang pada manusia satu zaman, dikala
itu Islam tidak tinggal melainkan namanya, dan Al-Quran tidak tinggal melainkan
tulisannya, masjid-masjidnya bagus namun kosong dari petunjuk ulama-ulamanya
termasuk manusia paling jelek yang berada di bawah langit, karena dari mereka
timbul beberapa fitnah dan akan kembali kepadanya.” (HR. Baihaqi dari Ali).
Dalam hadits itu
menjelaskan bahwa kelak akan dating suatu masa, dimana Islam tinggal namanya,
dan Al-Quran akan tinggal tulisannya. Masjid ramai akan tetapi kosong dari
petunjuk, ulama’nya manusia yang jelek-jelek.
Banyak orang
berbicara tentang Islam, padahal dirinya sendiri tidak mengamalkannya. Pandai
memutar lisan untuk memantapkan orang agar percaya dia itu benar-benar Islam
dan memperjuangkannya. Sampai tidak terasa atau mungkin dengan sengaja merobah
halal menjadi haram dan merobah haram menjadi halal. Bahkan hukum Nash kalau bisa
disesuaikan dengan zaman, bukan keadaan zaman disesuaikan dengan ketentuan
Nash.
Isyarat
Rasulullah ini rasanya sudah ada gejala-gejala datangnya. Minat mempelajari
agama Islam semakin berkurang, malahan orang tua memasukkan sekolah pada
anaknya dihubungkan dengan ekonomi yang cerah dimasa yang akan dating. Tidak
bertujuan dalam mempelajari ajaran Islam yang benar untuk disebar luaskan pada
masyarakat awam. Maka dari itu hati-hatilah kita, masukkanlah anak kita ke sekolah
yang bernuansa agama, agar mereka tumbuh dengan iman dan taqwa, selamat di
dunia dan di akhirat.
Maafkan aku...
Yang terlalu rapuh , berdiri di dalam kenyataan
Seakan tak mampu menghadapinya
Sering terjatuh di dalam perjalanan
Sehingga hanya seperti daun kering
Di tengah samudra luas
Bukan ku tak ingin seperti gelombang
Ataupun setegar batu karang
Mungkin karena jalan takdir yang teramat berat
Sehingga nyala lenteraku
Seakan padam di tengah kekalutan
Kau yang selalu ada dan menemaniku
Ku harapkan tak pernah letih oleh udara
Yang sering menjadi badai...
Dan setiap saat menghantui
Menggoyahkan rasa yang teryakini
Kau yang selalu ada dan tertaut di dalam hati
Ku harapkan tak pernah lelah oleh keadaan
Yang tak mampu merubah impian menjadi kenyataan
Karena diri terlalu rapuh di dalam perjalanan
Maafkan aku...
Yang tak mampu membuka semua senyumanmu
Tetapi akan selalu menjagamu , menyayangimu...
Dan mencintaimu setulus hati sepenuh jiwa
Tak kan mampu terhentikan oleh apapun
Karena engkaulah asaku yang tak tergantikan
Di dalam langkah-langkah hidupku .
Maafkanlah Bila Hati Tak Sempurna Mencintaimu
Waes Alqorny
10/15/2016
Seorang anak menelepon ayahnya yang telah lama bercerai dengan
ibunya. Pagi itu, ibunya sakit dan tidak bisa mengantarnya ke sekolah
seperti biasanya.
Jarak sekolah sekitar 1 kilometer dari rumahnya, dan si anak bertubuh lemah.
Pagi itu jam 6:00 si anak menelepon ayahnya:
“Ayah, tolong antarkan aku sekolah.”
“Ibumu kemana?”
“Ibu sakit, ayah, tidak bisa mengantarkanku ke sekolah. Kali ini ayah aja yang antarkan aku ke sekolah.”
“Ayah tidak bisa. Ayah nanti terlambat ke kantor. Kamu naik angkot saja atau ojek.”
“Uang ibu hanya tingal 10 ribu, ibu sakit, kami belum makan pagi, takut ada apa-apa di rumah, kalau aku pakai untuk ongkos, kasian ibu sakit, belum makan, juga adik-adik nanti makan apa, ayah?”
“Ya sudah, kamu jalan kaki saja ke sekolah. Ayah juga dulu ke sekolah jalan kaki. Kamu anak laki laki harus kuat.”
“Ya Sudah, terimakasih ayah.”
Si anak mengakhiri teleponnya dengan ayahnya.
Dihapusnya air mata di sudut matanya, lalu berbalik masuk kamar. Ketika ibunya menatap wajahnya, dia tersenyum.
“Apa kata ayahmu, nak?”
“Kata ayah, iya ibu. Ayah kali ini yang antar aku ke sekolah.”
“Baguslah, nak. Sekolahmu jauh, kamu akan kelelahan kalau harus berjalan kaki. Doakan ibu lekas sembuh ya, biar besok ibu bisa antar kau ke sekolah.”
“Iya ibu, ibu tenang saja, ayah yang antar. Ayah bilang aku tunggu di depan gang supaya cepat, ibu.”
“Berangkatlah, nak. Belajar yang rajin, yang semangat.”
“Iya, bu…”
Tahun berganti tahun. Anak itu sekolah sampai pascasarjana dengan beasiswa.
Setelah lulus dia bekerja di perusahaan asing dengan gaji besar.
Dengan penghasilannya, dia membiayai hidup ibunya, membantu menyekolahkan adik-adiknya sampai sarjana.
Satu hari, ayahnya menelepon.
“Ada apa, ayah?”
“Nak, ayah sakit, tidak ada yang membantu mengantarkan ayah ke rumah sakit. Bisakah kamu tolong antarkan ayah ke rumah sakit?”
“Memang istri ayah kemana?”
“Sudah pergi nak sejak ayah sakit-sakitan.”
“Ayah, aku sedang kerja. Ayah ke rumah sakit pakai taksi saja.”
“Kenapa kamu begitu? Siapa yang akan mengurus pendaftran di rumah sakit dan lain-lain? Apakah supir taksi? Kamu anak ayah, masa orangtua sakit kamu tidak mau bantu mengurus?”
“Maaf, ayah. Ayah yang telah mengajariku mengurus diri sendiri. Bukankah ayah yang mengajarkan aku bahwa pekerjaan lebih penting daripada istri yang sakit dan anak yang ingin ke sekolah?
Tahukah ayah bahwa hari itu pertama kali aku berbohong kepada ibu, aku katakan iya ayah yang akan antarkan aku ke sekolah, dan meminta aku menunggu di depan gang.
Tapi ayah tau aku jalan kaki seperti yang ayah suruh, di tengah jalan ibu menyusul dengan sepeda, ibu tahu aku berbohong, dengan tubuh sakitnya ibu mengayuh sepeda mengantarkan aku ke sekolah.”
Ayah mengajarkan aku pekerjaan adalah yang utama. Ayah mengajarkan aku kalau ayah saja bisa, aku juga harus bisa walau tubuhku lemah.
Kalau ayah bisa ajarkan itu, maka ayah pun harus bisa melakukan.
Si ayah terdiam. Sepi di seberang telepon.
Baru disadarinya betapa dalam luka yang ditorehkannya di hati anaknya.
Sumber: www.fiqhmenjawab.net
Pagi itu jam 6:00 si anak menelepon ayahnya:
“Ayah, tolong antarkan aku sekolah.”
“Ibumu kemana?”
“Ibu sakit, ayah, tidak bisa mengantarkanku ke sekolah. Kali ini ayah aja yang antarkan aku ke sekolah.”
“Ayah tidak bisa. Ayah nanti terlambat ke kantor. Kamu naik angkot saja atau ojek.”
“Uang ibu hanya tingal 10 ribu, ibu sakit, kami belum makan pagi, takut ada apa-apa di rumah, kalau aku pakai untuk ongkos, kasian ibu sakit, belum makan, juga adik-adik nanti makan apa, ayah?”
“Ya sudah, kamu jalan kaki saja ke sekolah. Ayah juga dulu ke sekolah jalan kaki. Kamu anak laki laki harus kuat.”
“Ya Sudah, terimakasih ayah.”
Si anak mengakhiri teleponnya dengan ayahnya.
Dihapusnya air mata di sudut matanya, lalu berbalik masuk kamar. Ketika ibunya menatap wajahnya, dia tersenyum.
“Apa kata ayahmu, nak?”
“Kata ayah, iya ibu. Ayah kali ini yang antar aku ke sekolah.”
“Baguslah, nak. Sekolahmu jauh, kamu akan kelelahan kalau harus berjalan kaki. Doakan ibu lekas sembuh ya, biar besok ibu bisa antar kau ke sekolah.”
“Iya ibu, ibu tenang saja, ayah yang antar. Ayah bilang aku tunggu di depan gang supaya cepat, ibu.”
“Berangkatlah, nak. Belajar yang rajin, yang semangat.”
“Iya, bu…”
Tahun berganti tahun. Anak itu sekolah sampai pascasarjana dengan beasiswa.
Setelah lulus dia bekerja di perusahaan asing dengan gaji besar.
Dengan penghasilannya, dia membiayai hidup ibunya, membantu menyekolahkan adik-adiknya sampai sarjana.
Satu hari, ayahnya menelepon.
“Ada apa, ayah?”
“Nak, ayah sakit, tidak ada yang membantu mengantarkan ayah ke rumah sakit. Bisakah kamu tolong antarkan ayah ke rumah sakit?”
“Memang istri ayah kemana?”
“Sudah pergi nak sejak ayah sakit-sakitan.”
“Ayah, aku sedang kerja. Ayah ke rumah sakit pakai taksi saja.”
“Kenapa kamu begitu? Siapa yang akan mengurus pendaftran di rumah sakit dan lain-lain? Apakah supir taksi? Kamu anak ayah, masa orangtua sakit kamu tidak mau bantu mengurus?”
“Maaf, ayah. Ayah yang telah mengajariku mengurus diri sendiri. Bukankah ayah yang mengajarkan aku bahwa pekerjaan lebih penting daripada istri yang sakit dan anak yang ingin ke sekolah?
Tahukah ayah bahwa hari itu pertama kali aku berbohong kepada ibu, aku katakan iya ayah yang akan antarkan aku ke sekolah, dan meminta aku menunggu di depan gang.
Tapi ayah tau aku jalan kaki seperti yang ayah suruh, di tengah jalan ibu menyusul dengan sepeda, ibu tahu aku berbohong, dengan tubuh sakitnya ibu mengayuh sepeda mengantarkan aku ke sekolah.”
Ayah mengajarkan aku pekerjaan adalah yang utama. Ayah mengajarkan aku kalau ayah saja bisa, aku juga harus bisa walau tubuhku lemah.
Kalau ayah bisa ajarkan itu, maka ayah pun harus bisa melakukan.
Si ayah terdiam. Sepi di seberang telepon.
Baru disadarinya betapa dalam luka yang ditorehkannya di hati anaknya.
Sumber: www.fiqhmenjawab.net
Aku berbohong pada Ibu demi Ayah
Waes Alqorny
10/02/2016